MAKALAH ISLAM

Malakalah Islam alternatif yang singkat ini semoga bermanfaat bagi kita semua, Amiinn... Hak cipta hanya milik Allah SWT Silahkan Download atau disebarluaskan makalah altermatif ini pada semua orang, semoga bermanfaat. saran dan kritik ditujukan ke : fadol_m@yahoo.com muhammadfadol@gmail.com

Rabu, 10 Juni 2009

Islam Sebagai Peradaban

Di Indonesia, Islam masuk tanpa peperangan. Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk kedalam pandangan hidup masyarakat nusantara waktu itu, maka dalam kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya. Tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan ummat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.
A. Pandangan Islam tentang Peradaban
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibnuu Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibnu Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umran harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umran besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang timbul dari suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umran bagi Ibnu Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam peradaban Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tauhid), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintah-Nya (syariat).
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang kemudian disebut sebagai peradaban itu.
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral. Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup atau pandangan alam Islam (worldview, al-taÎawwur al-Islami, al-mabda al-Islami) itu. Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut din, yang di dalamnya terkandung konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-Mawdudi worldview Islam adalah Islami Nahzariyat (Islamic Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia….secara menyeluruh”. Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-tashawwur al-Islami, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.” Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-Islami yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal. Namun Shaykh Atif juga menggunakan kata-kata mabda untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti aqidah fikriyyah. S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam li al-wujud).
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistem yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqidah) dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan dalam bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu :
1. kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi
2. kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer
3. kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban.
Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.
B. Tradisi intelektual Islam
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan alam Islam. Di dalam al-Qur’an ini terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Konsep ‘ilm yang dalam al-Qur’an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga memiliki berbagai definisi. Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Suffah. Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, Ashab al-Suffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam. Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya Abu Hurayrah, Abu Dzarr al-Ghiffari, Salman al-Farisi, ‘Abd Allah Ibnu Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (w.80H/ 699M), Muhammad Ibnu al-hanafiyyah (w.81/700), Umar Ibnu ‘Abd al-’Aziz (w.102/720) Wahb Ibnu Munabbih (w.110,114/719,723), Hasan al-Bashri (w.110/728), Ja’far al-Sidiq (w.148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik Ibnu Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al-Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan tersebut di atas, secara epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview), yaitu pandangan alam yang memiliki konsep-konsep yang canggih yang menjadi asas epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut. Dengan adanya konsep yang canggih para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat akhirnya dapat mengembangkan istilah-istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan konsep tersebut berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific conceptual scheme. Dari konsep ‘Ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarith, Kalam, tasawwuf dsb.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan dalam Islam dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah di Andalus Spanyol. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai berikut : pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universtias penting berada.
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle, dan juga tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi. Puncak kegiatan transmisi terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut Demitri Gutas proses transmisi (penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik dan intelektual. Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Jadi proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi pemikiran Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Produk dari proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, ruang lingkup dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistem ummat Islam. Sejatinya pemikiran Yunani tidak dominan, sebab jika demikian maka Muslim tidak mampu melakukan proses transmisi. Oleh karena itu Muslim lebih berani memodifikasi pemikiran Yunani ketimbang masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim bahkan mampu mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya kalangan teologi Kristen kedalam aliran Averoesm dan Avicennian merupakan bukti bahwa Kristen memahami Yunani melalui pandangan hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti karakteristik penting peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di Baghdad adalah semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam menggambarkan peradaban Islam Ibnu Khaldun membahas secara panjang lebar ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu, seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic), ilmu hukum waris (fara’idh), geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika, kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.
Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibnu Khaldun di atas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibnu Khaldun juga mensinyalir adan hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume urbanisasi (’umran) semakin tumbuh pula peradaban dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam peradaban (hadharah) menjadi besar yang penduduk perkotaannya meningkat.
Sumber:
1. http://banihamzah.wordpress.com
2. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam, Forum Ukhuwwah Islamiyah,
Yogyakarta, 2007
saran dan kritik ke : fadol_m@yahoo.com

Read more!